KOMUNITAS – Suku Bajo
Suku
Bajo adalah suku yang memiliki rumah dan tinggal di atas air. Suku ini banyak
ditemui di Wakatobi. Wakatobi merupakan singkatan dari empat pulau, yakni Pulau Wangi-wangi, Pulau
Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Wakatobi dulu adalah Kepulauan Tukang
Besi yang sekarang telah berubah nama menjadi Pulau Wakatobi di Sulawesi
Tenggara. Pulau ini sangat terkenal
dengan keindahan bawah lautnya. Sekarang Pulau Wakatobi telah manjadi
"Taman Laut Nasional". Seiring berjalannya waktu, beberapa Suku Bajo
juga ada yang tinggal di daratan, meskipun karena sedikit paksaan dari
pemerintah.
Suku Bajo di Wakatobi
Mendengar kata Wakatobi membuat imajinasi kita akan pesona bawah lautnya
yang sangat eksotis dan sangat indah dengan terumbu karang yang masih alami,
hamparan pantai yang begitu menyejukkan mata. Tak heran jika sekarang pulau ini
sudah menjadi taman wisata laut nasional. Bahkan wisata taman laut Wakatobi
sudah semakin banyak dikunjungi wisatawan dan sudah mulai di lirik oleh banyak
media. Wakatobi
adalah sebuah kabupaten di Sulawesi Tenggara. Ibu kota
kabupaten ini terletak di Wangi-Wangi. Bentuk wilayahnya adalah berupa
kepulauan.
Penduduk asli wakatobi adalah Suku Bajo, yang tersebar di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan dengan
jumlah penduduknya 23,37%, berada di Kecamatan Wangi-Wangi 19,05%, berada di
Kecamatan Kaledupa 17,86% berada di Kecamatan Tomia dan 15,01% berada di
Kecamatan Binongko. Suku Bajo di Wakatobi mempunyai mata pencaharian sebagai
nelayan yang sudah menjadi turun temurun nenek moyang mereka. Bagi Suku Bajo,
laut adalah IBU bagi mereka. Suku bajo di sana masih sangat khas dengan
tradisional yang masih diwariskan oleh nenek moyang mereka. Salah satunya
adalah dengan menjaga lautan dan tidak merusak flora dan fauna disekitarnya.
Bagi para wisatawan, Wakatobi adalah surga laut yang penuh dengan pesona yang
begitu indah.
Penduduknya juga sangat ramah tamah dalam menyambut tamu (para wisatawan)
yang berkunjung ke Wakatobi dengan
ritual penyambutan yang masih khas.
Orang
nomor satu di Suku Bajo adalah presiden, bukan hanya negara saja yang memiliki
presiden, Suku Bajo pun memilikinya. Adalah Abdul Manan, asli putra Bajo dari
Sulawesi Tenggara. Diperkirakan dialah satu-satunya Suku Bajo Indonesia yang telah
menyandang gelar S2.
Pada awalnya, sang
ibu berpendapat lepas SD Manan sebaiknya bergabung dengan kapal Australia
menangkap ikan paus. Akan tetapi, untungnya sang ayah mendukung keinginannya
untuk sekolah. Pada 1976, dia merantau ke Bau Bau melanjutkan SMP hingga SMA.
Kemudian mendapat beasiswa ke perguruan tinggi negeri di Kendari. Lepas itu
dapat beasiswa lagi, S2 di Thailand, jurusan manajemen tropika.
Berbicara tentang Presiden suku Bajo, ada kisah
tersendiri. Beberapa tahun lalu Manan mendengar ada seorang datuk dari Malaysia
mengunjungi suku Bajo di Sulawesi. Dia meminta kontak, kemudian saling email.
Dari situ dilanjutkan dengan pertemuan, yang akhirnya memunculkan
ide membuat semacam persatuan orang Bajo sedunia. Mengingat Suku Bajo ini sudah
diakui PBB sebagai suku mandiri.
Maka, pada awal 2007 berdirilah perkumpulan suku Bajo
internasional. Hingga saat ini anggotanya baru ndonesia, Malaysia, dan Philipina.
Abdul Manan merupakan Presiden Suku Bajo pertama. Organisasi ini bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan suku Bajo dimana pun berada.
Sejarah Suku Bajo
Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh.
Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar,
sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi
bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan
keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan.
Sejumlah antropolog
mencatat, suku Bajo lari ke laut karena mereka menghindari perang dan kericuhan
di darat. Sejak itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang sepenuhnya hidup
di atas air. Nama suku Bajo diberikan oleh warga suku lain di Pulau Sulawesi
sendiri atau di luar Pulau Sulawesi. Sedangkan warga suku Bajo menyebut dirinya
sebagai suku Same. Sedangkan mereka menyebut warga di luar sukunya sebagai suku
Bagai.
Nama “Bajo”
sendiri ada yang mengartikannya secara negatif, yakni perompak atau bajak laut.
Menurut cerita tutur yang berkembang di kalangan antropolog, kalangan perompak
di zaman dulu diyakini berasal dari suku Same. Sejak itu, orang-orang menyebut
suku Same sebagai suku Bajo. Artinya adalah suku Perompak. Anehnya, nama suku
Bajo itu lebih terkenal dan menyebar hingga ke seluruh nusantara. Sehingga,
suku laut apa pun di bumi nusantara ini kerap disamaratakan sebagai suku Bajo.
Belakangan, pemaknaan negatif ini membangkitkan polemik berkepanjangan.
Banyak kalangan
yang tidak menyetujui dan membantah arti “Bajo” sebagai perompak atau bajak
laut. Karena, itu sama artinya dengan menempatkan suku Bajo di tempat yang
tidak semestinya dalam buku sejarah kita. Apa pun hasil akhir perdebatan itu,
faktanya banyak juga kalangan antropolog yang sangat yakin dengan akurasi
konotasi negatif itu. Lucunya, perdebatan demi perdebatan tentang suatu
masalah, justru tidak pernah menghasilkan kesimpulan yang kian sempurna.
Sehingga, hanya kebingunganlah yang mesti dinikmati orang-orang yang berniat
mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Termasuk juga tentang asal-muasal kata
“bajo”. Yang pasti, suku Bajo adalah suku Same atau suku laut yang hingga
sekarang masih bermukim di banyak lokasi yang tersebar di seluruh nusantara. Di
mana ada tanjung, maka di sanalah suku Bajo membangun kehidupan.
Di mana ada
laut, maka di sanalah suku Same itu mencari nafkah. Dengan bernelayan, tentu
saja. Bila prediksi dampak perubahan iklim benar-benar terjadi antara
2050-2100, suku Bajo boleh dibilang masyarakat paling siap menghadapinya.
Pasalnya, sejak lahir, keturunan suku Bajo sudah dikenalkan dengan kehidupan di
atas permukaan air. Di tengah kesibukan para ilmuwan mencari solusi dari
perubahan iklim, ternyata sebagian jawabannya ada pada kearifan suku Bajo.
Menurut Profesor AB Lapian, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
suku Bajo atau Bajau merupakan sekumpulan orang yang menggantungkan hidupnya di
laut. “Boleh dibilang hidup dan mati mereka bergantung dengan laut,” ujar
Lapian.
Seluruh
aktivitas mereka dihabiskan di atas perahu. Karena itu, mereka dikenal dengan
julukan suku nomaden laut. Hal inilah yang ingin dipelajari dan diterapkan para
ilmuwan menghadapi ancaman pulau-pulau tenggelam itu. Di sisi lain, para
peneliti kesulitan mendapatkan data akurat tentang asal-usul nenek moyang suku
Bajo. Menurut Lapian, ada berbagai macam versi sejarah riwayat leluhur mereka.
Versi cerita rakyat menyebutkan suku Bajo berasal dari Johor, Malaysia. Ada
pula yang mengatakan berasal dari Filipina atau Bone, Sulawesi Selatan. Namun,
menurut Dr. Munsi Lampe, antropolog dari Universitas Hasanuddin Makassar,
jumlah suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di atas perahu diperkirakan
semakin sedikit karena hidup menepi di pesisir pantai dan mendirikan rumah
panggung. Digambarkan dalam buku Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil, rumah panggung suku Bajo dibangun menggunakan bahan yang
terbilang ramah lingkungan. Dindingnya terbuat dari kombinasi kayu dan anyaman
bambu. Sedangkan bagian atap dari daun rumbia.
Ada
beberapa versi yang bercerita tentang sejarah Suku Bajo. Konon nenek moyang
Suku Bajo berasal dari Johor, Malaysia. Alkisah, dahulu kala ada seorang puteri
kerajaan Johor yang hilang entah kemana. Kemudian sang Raja memerintahkan segenap
warganya untuk mencari keberadaan sang puteri. Maka warga pun mencari sang
puteri, bukan hanya ke wilayah Johor, melainkan hingga ke wilayah Sulawesi.
Berbagai
sumber menyebutkan bahwa sang puteri lebih memilih untuk menetap di Sulawesi. Beberapa
warga yang mencari puteri pun lebih memilih untuk tidak kembali ke Johor dan menetap di Sulawesi. Pada akhirnya sang puteri
pun menikah dengan raja Bugis yang tersohor dan menempatkan warganya yang
berasal dari Johor di sebuah kampung bernama Bajo. Maka, hingga saat ini
dikenal dengan Suku Bajo.
Suku
Bajo mendapatkan julukan sea nomands, artinya
adalah hidup di laut dan tidak menetap di suatu tempat. Bagi Suku Bajo, laut
menjadi andalan satu-satunya, karena dari mulai hidup, tempat tinggal, hingga
mencari kehidupan dilakukannya dengan berinteraksi dengan laut. Suku Bajo yang
tinggal di daratan pun tak jauh-jauh dari laut.
Melaut merupakan
pekerjaan yang dijalani hampir seluruh masyarakat Suku Bajo. Awalnya, mereka
menggunakan cara apa saja untuk mendapat ikan. Mulai dari bom hingga racun.
Dahulu nelayan Suku Bajo bekerja dengan bos Philipina menggunakan bom untuk
menangkap ikan. Mereka diajarkan bagaimana cara merakit dan menggunakan bom
yang digunakan untuk menangkap ikan. Hingga akhirnya mereka pun lebih memilih
untuk bekerja sendiri, karena penghasilan tidak sebanding dengan resiko.
Penangkapan ikan
dengan bom biasanya dilakukan dalam kelompok. Yang paling berbahaya bila
bertemu dengan kelompok lain. Pasalnya, setiap kelompok dibekali senjata,
sehingga sering terjadi baku tembak di antara mereka.
Suku Bajo dikenal
mudah menyesuaikan diri. Dengan banyaknya saling interaksi yang dilakukan Suku
Bajo menjadikan mereka tersebar di berbagai daerah di tanah air. Di Lombok
misalnya, Suku Bajo banyak ditemui di Labuhan Haji, Lombok Timur dan di Sumbawa
banyak didapati di Pulau Moyo. Di Bali, Suku Bajo terdapat di Singaraja dan
Denpasar. Di Jawa Timur, Suku Bajo banyak tinggal di Kepulauan Kengean,
Sumenep, Madura. Mereka hidup bersama warga setempat, yaitu Bugis dan Madura.
Persebaran Suku Bajo di Nusantara
Suku Bajo
dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup matinya berada diatas lautan. Bahkan
perkampungan mereka pun dibangun jauh menjorok kearah lautan bebas, juga
sebagai tempat mereka mencari penghidupan.
Laut bagi mereka
adalah satu-satunya tempat yang dapat diandalkan. Suku Bajo ini pun menyebar ke
segala penjuru wilayah nusantara semenjak abad ke-16 hingga sekitar 40 hingga 50
tahun silam dan perpindahan terakhir terjadi di berbagai wilayah di Nusa Teggara
Timur. Di berbagai tempat, Suku Bajo banyak yang akhirnya menetap, baik dengan
inisiatif sendiri ataupun karena adanya paksaan pemerintah. Namun tempat
tinggalnya pun tidak pernah jauh dari laut. Sesuai dengan sifatnya yang
nomaden, maka masyarakat Suku Bajo tersebar di berbagai daerah. Mereka
membangun pemukiman-pemukiman baru di berbagai penjuru Indonesia. Berikut sebagian
dari tempat bermukimnya Suku Bajo yang ada di Indonesia.
Jawa Timur
Suku Bajo banyak
terdapat di Kepulauan Kangean, Sumenep. Umumnya mereka tinggal di Pulau
Sapeken, Pagerungan Besar, Pagerungan Kecil, Paliat dan pulau-pulau sekitarnya.
Mereka tinggal bersama dengan suku Madura dan Bugis.
Bali
Suku Bajo kebanyakan ditemui di Singaraja dan Denpasar atau kawasan pantai
membaur dengan masyarakat Bali dan Bugis.
Nusa Tenggara Barat
Suku Bajo di
pulau Lombok ditemui di sebuah kampung di Kecamatan Labuhan Haji, Lombok Timur.
Sedangkan di Pulau Sumbawa, mereka banyak dijumpai di Pulau Moyo dan
sekitarnya, serta kawasan Bima di belahan timur Sumbawa.
Nusa Tenggara Timur
Di Pulau Flores Suku
Bajo dapat dijumpai di kawasan pesisir, mulai dari Kabupaten Manggarai Barat
hingga Flores Timur. Di sana ada kota bernama Labuhan Bajo yang diambil dari
nama Suku Bajo. Pemukiman mereka di Nusa Tenggara Timur antara lain di Lembata
yakni di wilayah Balauring, Wairiang, Waijarang, Lalaba dan Lewoleba. Di Pulau
Adonara, yaitu di Meko, Sagu dan Waiwerang. Sedangkan sisanya bermukim di Pulau
Solor, Alor dan Timor, terutama Timor Barat. Mereka telah bermukim di sana
sejak ratusan tahun silam dan hidup rukun dengan penduduk setempat. Di Maumere
Suku Bajo berpusat di Pulau Parumaan. Setelah gempa tahun 1992 Suku Bajo
tersebar ke beberapa tempat seperti Nangahale, Wuring, Nangahure. Suku Bajo
juga banyak dijumpai di kawasan sekitar Pulau Komodo dan Rinca.
Gorontalo
di Gorontalo, Suku Bajo tersebar di sepanjang pesisir Teluk Tomini, dan terpusat
di wilayah Kabupaten Boalemo dan Gorontalo.
Sulawesi Tengah
Di Sulawesi
Tengah Suku Bajo banyak ditemui di kepulauan Togian di Teluk Tomini, Tojo
Una-Una, Kepulauan Banggai. Selain itu Suku Bajo dimungkinkan dijumpai di
pesisir Kabupaten Toli-Toli, Parigi Moutong dan Poso juga banyak dijumpai Suku
Bajo.
Sulawesi Tenggara
Suku Bajo terdapat
di pesisir Konawe dan Kolaka sebagai pulau utama. Di Pulau Muna, Desa Bangko,
Kecamatan Baginti yang konon sudah ada sejak abad ke-16, Pulau Kabaena, Pulau
Wolio, Pulau Buton, Kepulauan Wakatobi, yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia,
Binongko.
Sulawesi
Selatan
Di Sulawesi
Selatan Suku Bajo terpusat di Kelurahan Bajoe, Kabupaten Bone. Suku Bajo banyak
tinggal di kawasan sepanjang pesisir teluk Bone sejak ratusan tahun silam.
Selain itu orang Bajo juga banyak bermukim di pulau-pulau sekitar Kalimantan
Timur, Maluku, dan Papua. Suku Bajo terutama di Sulawesi Selatan banyak
mengadaptasi adat istiadat orang Bugis atau Makassar, juga adat istiadat Buton
di Sulawesi Tenggara. Sedangkan orang Bajo di Sumbawa cenderung mengambil adat
Bugis, bahkan seringkali mengidentifikasi dirinya sebagai orang Bugis atau Buton
di beberapa daerah. Meskipun telah ratusan tahun tinggal bersama penduduk lokal
yang beragama Katolik atau Kristen di Nusa Tenggara Timur, Suku Bajo tetap
sampai sekarang taat menganut agama Islam, dan bagi mereka Islam adalah
satu-satunya agama yang menjadi ciri khas suku ini. Menjaga kekayaan laut
adalah salah sifat yang diemban oleh suku Bajo. Dengan kearifannya mereka mampu
menyesuaikan diri dengan ganasnya lautan.
Keunikan Suku Bajo
Suku Bajo sangat
kaya akan keunikan. Di antara keunikannya adalah, Suku Bajo menjadikan perahu
atau sampan sebagai tempat tinggal sekaligus alat transportasi utama. Lebih
dari itu, sampan juga digunakan sebagai tempat untuk mencari nafkah, yaitu
dengan menjual hasil tangkapan laut yang merupakan mata pencaharian utama Suku
Bajo.
Selain sampan, kaum
Ibu di Suku Bajo juga memiliki kerajinan kain tenun tradisional sebagai kegiatan
ekonomi mereka. Kain ledja dan kasopa ditenun dengan alat-alat tradisional
dengan berbagai motif khas Suku Bajo. Suku Bajo lebih percaya kepada kearifan
lokal dari pada instrumen-instrumen modern yang berkembang masif di luar
kebudayaan laut Suku Bajo di Wakatobi.
Dalam hal
menangkap ikan, masyarakat Bajo sangat adaptif dengan lingkungan, seperti
menjaga terumbu karang sebagai tempat tinggal ikan, bertelur dan tempat makan
ikan. Masyarakat Bajo pun memilik kesadaran konservasi cukup baik, seperti
terlihat dari adanya larangan taboo,
yaitu larangan menangkap teripang yang berdiri karena diyakini sebagai raja
teripang, setelah teripang rebah nelayan baru diizinkan untuk menangkap
teripang disekitarnya.
Secara ilmiah,
teripang berdiri tersebut dalam keadaan bertelur, sehingga secara tidak
disadari masyarakat Bajo menjaga keberlanjutan sumberdaya teripang. Kearifan
masyarakat Bajo dalam pengelolaan sumberdaya laut juga terlihat dalam kegiatan
penangkapan ikan karang hanya pada musim angin timur.
Suku Bajo
memandang laut sebagai penghubung dan bukannya pemisah. Hal ini memberi
perspektif baru bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan yang dihubungkan oleh
laut, bukan dipisahkan.
Berikut adalah
beberapa fakta mengenai Suku Bajo, menurut data WWF Indonesia.
®
Suku Bajo adalah suku pengembara laut. Mereka kerap
kali disebut juga sebagai Suku Bajau.
®
Suku Bajo memandang laut sebagai penghubung dan
bukannya pemisah. Hal ini memberi perspektif baru bahwa Indonesia adalah Negara
Kepulauan yang dihubungkan oleh laut, bukan dipisahkan.
®
Suku Bajo tersebar di berbagai Negara sesuai
karakternya yang nomaden.
®
Alat transportasi yang lazim digunakan oleh Suku Bajo
adalah kapal dan sampan.
®
Sebelum dunia mengenal istilah The World Coral
Triangle, Suku Bajo telah terlebih dulu menandai seluas wilayah di area
tersebut sekaligus menjaganya sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam tak
ternilai. Suku Bajo dan The Coral Triangle adalah kesatuan yang tak
terpisahkan.
®
Suku Bajo memiliki banyak sekali ritual adat. Salah
satunya adalah upacara Sangal yang dilakukan saat musim paceklik ikan dan
spesies laut lainnya. Pada upacara tersebut, mereka akan melepas spesies yang
populasinya tengah menurun di saat bersamaan. Misalnya: melepas penyu saat
populasi penyu berkurang, melepas tuna saat tuna berkurang, dan lain-lain.
®
Suku Bajo juga memiliki kearifan lokal dalam melaut
dan mengambil hasil laut. Mereka selalu memilih dan mengambil ikan yang usianya
sudah matang dan membiarkan ikan-ikan yang masih kecil dan muda untuk tumbuh
dewasa. Mereka juga tidak mengambil jenis ikan tertentu yang tengah memasuki
siklus musim kawin maupun bertelur untuk menjaga keseimbangan populasi dan
regenerasi spesies tersebut.
®
Dalam tradisi Suku Bajo dan Wakatobi, terdapat
perpaduan adat dalam upacara “Pangindaan Ma Kaca” dan “Pangindaan Ma pinah”
yang artinya: “Mencari dalam Kaca” dan “Mencari degan daun Pinang”. Upacara ini
kerap dilakukan untuk mencari jawaban atas banyak hal. Misalnya untuk mencari
orang yang hilang di tengah lautan. Jawaban dapat terlihat dari
gelembung-gelembung air yang bergejolak.
®
Motto yang sering didengar di kalangan Suku Bajo
adalah “Di lao' denakangKu” yang berarti “Lautan adalah Saudaraku”. Oleh
karenanya, lautan adalah tempatku hidup, mencari nafkah, serta mengadu dalam
suka maupun duka yang selalu menyediakan kebutuhan hajat hidupku.
®
Sebutan yang lazim digunakan oleh Suku Bajo untuk
menyapa paman adalah Puto, sedangkan tante atau bibi kerap disapa sebagai Aya.
®
Tantangan yang dihadapi oleh Suku Bajo cukup banyak,
antara lain: kurangnya akses menuju pendidikan, hak atas tempat tinggal, angka
kematian pada ibu yang melahirkan dan bayi, kemiskinan, kelaparan, dan
diskriminasi di beberapa lokasi tertentu.
®
Selain itu, perubahan alam pun menjadi salah satu
tantangan yang dihadapi oleh suku pengembara laut ini.
®
Jumlah Suku Bajo di Indonesia cukup banyak, antara
lain di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara,
NTT, Kalimantan, Maluku, dan Jawa Timur.
®
Peta penyebaran Suku Bajo di Asia Tenggara adalah sbb:
©
WWF-Indonesia, 2010
Kehidupan
masyarakat ini juga sempat diangkat dalam film berjudul "The Mirror Never Lies" yang
dibintangi oleh Atikah Hasiholan. Meskipun tinggal di laut, mereka tidak merasa
kurang dengan orang-orang yang menetap di darat.
Sampan merupakan
modal utama mereka mencari nafkah. Misalnya saja untuk menangkap ikan,
mengambil pasir yang bisa dijadikan batako, hingga sebagai alat transportasi.
Mau menjadi suku Bajo "sementara"? Datang saja ke desa Sama Bahari
yang menjadi tempat shooting film Mirror Never Lies, di dekat Pulau Kaledupa.
Dengan harga Rp 25.000 - 30.000, Anda dapat menyewa sampan mereka dan merasakan
bagaimana serunya menjadi manusia perahu.
Keislaman Suku Bajo
Suku Bajo
dikenal sebagai suku yang keyakinan Islamnya kuat. Meskipun banyak Suku Bajo
yang menetap di seantero Nusantara, bahkan hidup berdampingan dengan masyarakat
beragama Keristen, Katolik dan agama lainnya, namun Suku Bajo tetap taat
menganut agama Islam hingga saat ini, dan bagi mereka Islam adalah satu-satunya
agama yang menjadi ciri khas suku ini.
Kebudayaan Islam
telah berkembang pesat di Kecamatan
Sikka. Menurut catatan sejarah, warga asal Sulawesi Selatan ini menginjakkan
kakinya di Geliting pada abad ke-18. Menurut Imam Masjid Al-Mujahidin Haji
Firdaus Bakuasong, yang pertama yang menyebarkan Islam di tempat tersebut
adalah tiga orang yang berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Perkembangan
Islam saat itu juga didukung dengan kerjasama dengan raja di wilayah tersebut
yakni Raja Nai.
Ketiganya adalah
Mahmud, Hasan dan Husein. Ketiganya menggunakan perahu layar untuk mengungsi
setelah Gunung Tambora di NTB meletus tahun 1885. Ternyata ketiga orang
tersebut berasal dari Gowa dan Bajo Sulawesi Selatan. Setelah itu warga dari
Bajo, Gowa dan Bone mulai berdatangan di tempat tersebut.
Selain itu,
warga Gowa juga mayoritas beragama Islam. ‘Gowan’ adalah sebutan bagi warga
Gowa yang beragama muslim.
Salah satu bukti
sejarah peninggalan pendatang pertama adalah Masjid Al-Mujahidin yang terletak
di Pasar Geliting. Tidak diketahui persis kapan masjid tersebut dibangun. Tidak
tertulis jelas namun masjid ini dibangun sejak awal kedatangan penduduk asal
Bima dan Sulawesi Selatan. Awalnya, masjid itu hanyalah Mushola atau Langgar.
Namun, awal abad
ke-19 dibangun masjid dengan ukuran yang besar di tempat yang sama. Masjid yang
diberi nama Al-Mujahidin ini menjadi pusat untuk penganut muslim di Geliting
dan sekitarnya hingga ke Nangahale, yaitu sekitar 10 kilometer dari Geliting.
Kini masjid yang
dibangun di atas lahan sekitar seperempat hektar ini menjadi salah satu masjid
bersejarah di Sikka. Seiring perkembangan peradaban Islam, kemudian dibangun
masjid-masjid baru di Geliting dan daerah sekitarnya hingga ke Nangahale.
Hingga saat ini
peradaban Islam masih mendiami wilayah pesisir utara Kabupaten Sikka mulai
Nangahale hingga Ndete di Magepanda. Karena kuatnya pengaruh budaya suku-suku
dari Sulawesi Selatan maka sebagian besar penganut Islam di Sikka bermata
pencaharian sebagai nelayan dan pedagang.
Beberapa tahun
lalu juga telah ada penelitian mengenai agama yang dianut oleh Suku Bajo, dan
hasilnya menyatakan bahwa seluruh masyarakat Bajo di tempat penelitian menganut
agama Islam (September 1995). Wilayahnya pun terlihat lengang di hari Jum’at,
karena laki-laki dewasa dan remaja putra berada di masjid untuk melaksanakan
Shalat Jum’at. Masyarakat Suku Bajo setempat juga dikenal taat agama dan selalu
melaksanakan ibadah shalat lima waktu.
Masyarakat Bajo taat melaksanakan ibadah
shalat dan ibadah lainnya, itu menunjukkan ketaatan mereka dalam pelaksanaan
syari’at agama Islam yang dianutnya. Namun di lain sisi warga masyarakat Suku
Bajo masih tetap percaya kepada makhluk-makhluk gaib dan kekuatan sakti (supernatural power) yang konon kabarnya
sangat menentukan keselamatan diri maupun perolehan rezeki bagi pakkaja
(nelayan). Selain itu mereka juga masih meyakini adanya mitos-mitos, seperti
adanya pengngorong sappa atau penjaga
karang. Yang bertempat tinggal digugusan-gugusan karang dari seluruh gugusan
karang di sekitar lokasi penangkapan Samoa dan Lamasia dan tabu mendekatinya.
Sisi keunikan
lain dari Suku Bajo adalah cara berkhitannya. Lazimnya khitan dilakukan oleh seorang
dokter atau perawat dan menggunakan peralatan medis yang lengkap. Anak
laki-laki Suku Bajo di Kecamatan Soropia, khitan dilaksanakan tanpa dokter atau
perawat. Laki-laki Suku Bajo di Kecamatan Soropia justru harus merasakan
sakitnya khitanan tanpa tenaga ataupun peralatan medis. Bukan karena pulau ini
terisolasi sehingga tidak ada pelayanan kesehatan. Tapi semata-semata karena
budaya dan tradisi yang terus dilestarikan oleh masyarakat Bajo di pulau yang
sudah mulai mengalami abrasi ini.
Di sana kita
tidak akan menemukan peralatan-peralatan kesehatan, plester, apalagi obat untuk
mengurangi rasa sakit. Yang ada hanya pahat yang berfungsi untuk menggantikan
gunting, dua buah hansaplast sebagai pengganti plester, palu-palu yang terbuat
dari kayu, dan balok berukuran yang digunakan sebagai alas ketika proses
khitanan berlangsung. Kelihatannya peralatan yang digunakan memang sangat
sederhana, tapi tentu saja sedikit menakutkan bagi anak-anak yang akan dikhitan.
Sebelum proses
khitanan berlangsung, seorang pemuka adat yang akan melakukan khitanan terlebih
dulu berdoa agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Semua peralatan
yang akan digunakan dikumpul dan diletakkan menjadi satu dihadapan pemuka adat
untuk dibacakan doa.
Selain itu ada
ritual yang tidak boleh ketinggalan, yaitu memukul gendang. Pemukulan gendang
tersebut tidak boleh dihentikan hingga proses khitan selesai. Hal ini diyakini
dapat mengurangi rasa sakit pada anak yang dikhitan.
Meskipun proses
dan peralatan yang digunakan adalah tradisional, namun proses penyembuhannya
lebih cepat dari pada yang menggunakan tenaga medis.
Sebagai warga
negara Indonesia, sudah sepatutnya kita bangga dengan adanya Suku Bajo. Karena
hal tersebut membuktikan keanekaragaman budaya, bahasa, serta adat istiadat.
Juga dengan adanya warga Bajo yang menetap di Sikka, yang hingga saat ini masih
mempertahankan adat dan kepercayaan dari nenek moyang mereka, di samping makin
berkembangnya modernitas di Indonesia. Patut disyukuri, kebudayaan yang sudah
sepatutnya dijaga dan dipelihara agar tidak punah dimakan usia, dan agar tidak
diakui oleh negara lain. Karena itu adalah salah satu keanekaragaman budaya
Bangsa Indonesia. Buka hanya itu, Suku Bajo juga turut menjaga dan melestarikan
wisata bahari di Indonesia, khususnya Wakatobi.
Dari berbagai sumber